Kita yakin bahwa setiap perbuatan
yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan berakibat atau membuahkan
hasil. Boleh dikatakan bahwa tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari
hasil atau pahala baik langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan
datang. Perbuatan baik (subha karma) pasti
akan mendapatkan pahala yang baik, demikian juga sebaliknya perbuatan yang
kotor atau perbuatan yang tidak baik (asubha
karma ) kita perbuat, maka hasilnyapun akan berakibat tidak baik ( ala ulah ala tinemu, ayu ginawe ayu
pinanggih ).
Sifat dasar yang mempengaruhi
perbuatan manusia ada dua. Dalam kitab
Bhagawad gita perbuatan tersebut yaitu Daiwi sampad dan Asuri Sampad. Daiwi
Sampad yaitu sifat manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat kedewataan yang
mengakibatkan atau mendorong manusia untuk berbuat mulia baik, bjaksana.
Sedangkan asuri sampad yaitu sifat manusia yang banyak dipengaruhi oleh sifat
keraksaan, yang cendrung manusia bersifat berbudi rendah, seperti angkuh
sombong, marah, iri hati, benci dan penuh dengan kekerasan.
Amarah dapat menjadi sumber
bermacam-macam kesulitan dan menghadapkan kita pada masalah yang tak terhitung
banyaknya. Ia yang menghancurkan kewibawaan dan meruntuhkan prinsip kemanusiaan
pada diri. Dalam pustaka suci Bhagawadgita II.63 disebutkan Krodha bhawati samohbah, Sammohat smrtti
wibhramah, Smrttibhramasad budhinaso, Bhudinasat pranassti.
Artinya : Dari marah timbullah kebungingan, karena
kebingungan ingatan menjadi kalut, karena kekalutan ingatan, kebijaksanaan jadi
lenyap, karena lenyapnya kebijaksanaan seseorang akan hancur.
Sloka diatas menunjukan bahwa betapa dasyatnya akibat dari sebuah
kemarahan itu apabila kemarahan itu merasuki jiwa, yang mengakibatkan
kegelapan, kekalutan dan berakhir pada kehancuran. Kemarahan yang tidak dapat
dikendalikan, berkibat fatal dan penyesalanpun akan datang terlambat. Namun
sebaliknya apabila kemarahan emosi yang terkendali dengan baik, ketentraman
jiwa, kemulian hati akan datang menghampiri kita.
Pustaka suci Sarasamuscaya sloka 102
menyebutkan : “apan ikang wang yan kawaca
dening krodhanya, salwirning pinujakenya sawakaning pawehnya dana, salwiring
tapanya, salwiring hinomakenya, ika ta kabeh, Bhatara Yama sira umalap phalanika, tan pa phala irya twas nghel,
matangnya kawasa kna tang krodha. Yang artinya: oleh karena orang yang
dikuasai oleh kemarahannya, segala yang dipersembahkannya, segala macam
sedekahnya, semua tapanya, segala yang dikorbankannya di dalam api unggun,
Bhatara Yama yang mengambil pahalanya tidak berpahala pada orang itu, walaupun
payah sekali.Untuk itu kuasailah kemarahan itu. Sloka diatas sangatlah penting
artinya dan berbahagialah apabila seseorang dapat meminimalisasi terbelengunya
pikiran dari kekuasaan kemarahan, sebab akan berkibat tidak berpahalnya yang
dilakukan.
Penomena yang terjadi akhir-akhir ini yang ditayangkan dimedia
elektronik sangat menyentuh hati kita. kejadian yang memilukan seakan mencoreng
citra profesi guru, yang nota bene sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kekerasan
yang menimpa anak didik berakibat pada tekanan fsikologis, sehingga terjadinya
kesenjangan pada sipendidik dengan anak didik, dengan dalih penegakan disiplin,
melaksanakan kewenangannya tanpa memikirkan akibatnya.
Demikian pula kemarahan yang berujung kekerasan dalam
rumah tangga,telah banyak menelan korban, dan yang paling memilukan kemarahan yang berakhir tragis dengan
meninggalnya seorang pejabat pemerintah, akibat kekerasan diawali dengan
kemarahan, yang berpangkal sebuah penolakan.
Sesunggunya pencerminan agar menjauhi perbuatan seperti itu,
dalam ajaran Hindu dikenal dalam konsep Tri kaya parisudha yaitu tiga perbuatan
yang baik. Berawal dari berfikir yang baik (manacika parisudha), kemudian
berkata yang baik, (wacika parisudha) dan perbuat yang baik (kayika parisudha).
Apabila ketiga landasan prilaku tersebut dapat dilaksanakan dengan seimbang dan
baik, maka dapat melenyapkan bibit permusuhan yang ada dalam diri kita yang
dikenal dengan sad ripu. Dalam kakawin Ramayana I.4 disebutan bahwa Ragadi musuh maparo, rihatiyo tonggwaniya
tan madoh ringawak, Yeka tan hana ri
sira,prawira wihikan sireng niti. Yang artinya bahwa : Kama dan
lain-lainnya itu adalah musuh yang dekat, dihatilah tempatnya tak jauh dari
badan, yaitu tak ada pada beliau. Sloka tersebut mencerminkan bahwa begitu
dekatnya musuh-musuh kita, seperti kama, lobha, krodha, moha,
mada matsarya, dan apabila tidak mampu untuk
mengendalikannya, terutama kemarahan (krodha), akan mengakibatkan kehancuran.
Untuk itulah
pengendalian diri (mulat sarira) introspeksi
diri, yakni menilai kembali perbuatan atau keberhasilan dan kegagalan kita masa
lalu, sangatlah penting artinya untuk
keseimbangan dan keselaranan kedamaian hidup kita. Segala perbuatan baik (subha
karma) perlu dilestarikan dan dikembangkan sedangkan segala kesalahan keburukan,
perbuatan tidak baik (asubha karma) patut tidak dilakukan dan dilenyapkan. Lebih-lebih
kemampuan mengendalikan diri yang dilandasi dengan cinta kasih, dan menghormati
sesama, menyadari bahwa kita merupakan satu keluarga (Wasudewa kutumbakam), niscaya kekerasan akan
berubah menjadi sebuah kedamaian hati.
Dalam Yayur weda XL.6 disebutkan bahwa
Yastu sarvani bhutany
atmanneva anupasyati Sarvabhutatesu catmanam tato na vi cikitsati
( Seorang yang melihat
Dia berada pada setiap mahluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada Nya,
ia tidak akan membenci yang lain )(titib, 2003:31)
Sloka diatas memberikan gambaran
bahwa kebencian tidak akan ada apabila semua menyadari bahwa beliau ada pada setiap
mahluk. Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana engkau berbuat terhadap
dirimu. Semua makhluk hidup adalah sahabat karibmu karena pada mereka terdapat
satu jiwa, yang merupakan bagian dari Brahman. Betapa indahnya dunia ini ketika
kesadaran itu muncul dan membawa caha kasih menebar kegembiraan dan kedamaian
dalam menjalani kehidupan penuh dengan nuansa keakraban. Satya Narayana menyatakan
bahwa “ kasih dikaitkan dengan pikiran,
ia akan menjadi kebenaran, bila kasih dijadikan dasar perbuatan,maka perbuatan
akan menjadi dharma, bila perasaan dijiwai oleh kasih, hati akan penuh dengan
kedamaian, dan bila menjadikan cinta kasih sebagai penuntun pengertian dan cara
berfikir, maka akal budi akan dijiwai oleh sikap tanpa kekerasan. Karena
itu kasih adalah kebenaran,kasih adalah kebajikan, kasih adalah kedamaian,
kasih adalah tanpa kekerasan.
Kemarahaan dapat dihindari dengan
selalu berusaha mulat sarira mengendalikan diri (eling) dengan dilandasi kasih
sayang, hormati sesama.