Jumat, 30 Desember 2011

MULAT SARIRA


Kita yakin bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan berakibat atau membuahkan hasil. Boleh dikatakan bahwa tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala baik langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang. Perbuatan baik (subha karma) pasti akan mendapatkan pahala yang baik, demikian juga sebaliknya perbuatan yang kotor atau perbuatan yang tidak baik (asubha karma ) kita perbuat, maka hasilnyapun akan berakibat tidak baik ( ala ulah ala tinemu, ayu ginawe ayu pinanggih ).
Sifat dasar yang mempengaruhi perbuatan  manusia ada dua. Dalam kitab Bhagawad gita perbuatan tersebut yaitu Daiwi sampad dan Asuri Sampad. Daiwi Sampad yaitu sifat manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat kedewataan yang mengakibatkan atau mendorong manusia untuk berbuat mulia baik, bjaksana. Sedangkan asuri sampad yaitu sifat manusia yang banyak dipengaruhi oleh sifat keraksaan, yang cendrung manusia bersifat berbudi rendah, seperti angkuh sombong, marah, iri hati, benci dan penuh dengan kekerasan.
Amarah dapat menjadi sumber bermacam-macam kesulitan dan menghadapkan kita pada masalah yang tak terhitung banyaknya. Ia yang menghancurkan kewibawaan dan meruntuhkan prinsip kemanusiaan pada diri. Dalam pustaka suci Bhagawadgita II.63 disebutkan Krodha bhawati samohbah, Sammohat smrtti wibhramah, Smrttibhramasad budhinaso, Bhudinasat pranassti.
Artinya : Dari marah timbullah kebungingan, karena kebingungan ingatan menjadi kalut, karena kekalutan ingatan, kebijaksanaan jadi lenyap, karena lenyapnya kebijaksanaan seseorang akan hancur.
Sloka diatas menunjukan bahwa betapa dasyatnya akibat dari sebuah kemarahan itu apabila kemarahan itu merasuki jiwa, yang mengakibatkan kegelapan, kekalutan dan berakhir pada kehancuran. Kemarahan yang tidak dapat dikendalikan, berkibat fatal dan penyesalanpun akan datang terlambat. Namun sebaliknya apabila kemarahan emosi yang terkendali dengan baik, ketentraman jiwa, kemulian hati akan datang menghampiri kita.
 Pustaka suci Sarasamuscaya sloka 102 menyebutkan : “apan ikang wang yan kawaca dening krodhanya, salwirning pinujakenya sawakaning pawehnya dana, salwiring tapanya, salwiring hinomakenya, ika ta kabeh, Bhatara Yama sira umalap phalanika, tan pa phala irya twas nghel, matangnya kawasa kna tang krodha. Yang artinya: oleh karena orang yang dikuasai oleh kemarahannya, segala yang dipersembahkannya, segala macam sedekahnya, semua tapanya, segala yang dikorbankannya di dalam api unggun, Bhatara Yama yang mengambil pahalanya tidak berpahala pada orang itu, walaupun payah sekali.Untuk itu kuasailah kemarahan itu. Sloka diatas sangatlah penting artinya dan berbahagialah apabila seseorang dapat meminimalisasi terbelengunya pikiran dari kekuasaan kemarahan, sebab akan berkibat tidak berpahalnya yang dilakukan.
Penomena yang terjadi akhir-akhir ini yang ditayangkan dimedia elektronik sangat menyentuh hati kita. kejadian yang memilukan seakan mencoreng citra profesi guru, yang nota bene sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kekerasan yang menimpa anak didik berakibat pada tekanan fsikologis, sehingga terjadinya kesenjangan pada sipendidik dengan anak didik, dengan dalih penegakan disiplin, melaksanakan kewenangannya tanpa memikirkan akibatnya.
 Demikian pula kemarahan yang berujung kekerasan dalam rumah tangga,telah banyak menelan korban, dan yang paling memilukan kemarahan yang berakhir tragis dengan meninggalnya seorang pejabat pemerintah, akibat kekerasan diawali dengan kemarahan, yang berpangkal sebuah penolakan.
Sesunggunya pencerminan agar menjauhi perbuatan seperti itu, dalam ajaran Hindu dikenal dalam konsep Tri kaya parisudha yaitu tiga perbuatan yang baik. Berawal dari berfikir yang baik (manacika parisudha), kemudian berkata yang baik, (wacika parisudha) dan perbuat yang baik (kayika parisudha). Apabila ketiga landasan prilaku tersebut dapat dilaksanakan dengan seimbang dan baik, maka dapat melenyapkan bibit permusuhan yang ada dalam diri kita yang dikenal dengan sad ripu. Dalam kakawin Ramayana I.4 disebutan bahwa Ragadi musuh maparo, rihatiyo tonggwaniya tan madoh ringawak, Yeka tan hana ri sira,prawira wihikan sireng niti. Yang artinya bahwa : Kama dan lain-lainnya itu adalah musuh yang dekat, dihatilah tempatnya tak jauh dari badan, yaitu tak ada pada beliau. Sloka tersebut mencerminkan bahwa begitu dekatnya musuh-musuh kita, seperti kama, lobha, krodha, moha,
 mada matsarya, dan apabila tidak mampu untuk mengendalikannya, terutama kemarahan (krodha), akan mengakibatkan kehancuran.
 Untuk itulah pengendalian diri (mulat sarira) introspeksi diri, yakni menilai kembali perbuatan atau keberhasilan dan kegagalan kita masa lalu, sangatlah penting artinya  untuk keseimbangan dan keselaranan kedamaian hidup kita. Segala perbuatan baik (subha karma) perlu dilestarikan dan dikembangkan sedangkan segala kesalahan keburukan, perbuatan tidak baik (asubha karma) patut tidak dilakukan dan dilenyapkan. Lebih-lebih kemampuan mengendalikan diri yang dilandasi dengan cinta kasih, dan menghormati sesama, menyadari bahwa kita merupakan satu keluarga  (Wasudewa kutumbakam), niscaya kekerasan akan berubah menjadi sebuah kedamaian hati.
 Dalam Yayur weda XL.6  disebutkan bahwa
Yastu sarvani bhutany atmanneva anupasyati Sarvabhutatesu catmanam tato na vi cikitsati
( Seorang yang melihat Dia berada pada setiap mahluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada Nya, ia tidak akan membenci yang lain )(titib, 2003:31)
Sloka diatas memberikan gambaran bahwa kebencian tidak akan ada apabila semua menyadari bahwa beliau ada pada setiap mahluk. Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana engkau berbuat terhadap dirimu. Semua makhluk hidup adalah sahabat karibmu karena pada mereka terdapat satu jiwa, yang merupakan bagian dari Brahman. Betapa indahnya dunia ini ketika kesadaran itu muncul dan membawa caha kasih menebar kegembiraan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan penuh dengan nuansa keakraban. Satya Narayana menyatakan bahwa “ kasih dikaitkan dengan pikiran, ia akan menjadi kebenaran, bila kasih dijadikan dasar perbuatan,maka perbuatan akan menjadi dharma, bila perasaan dijiwai oleh kasih, hati akan penuh dengan kedamaian, dan bila menjadikan cinta kasih sebagai penuntun pengertian dan cara berfikir, maka akal budi akan dijiwai oleh sikap tanpa kekerasan.   Karena itu kasih adalah kebenaran,kasih adalah kebajikan, kasih adalah kedamaian, kasih adalah tanpa kekerasan.
Kemarahaan dapat dihindari dengan selalu berusaha mulat sarira mengendalikan diri (eling) dengan dilandasi kasih sayang, hormati sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar